Sabtu, Maret 28, 2009

Keunikan Batik

Batik merupakan ikhwal kriya tekstil yang tak asing bagi orang Indonesia, bahkan sering menjadi sebuah simbol akan bangsa Indonesia. Batik dikenal erat kaitannya dengan kebudayaan etnis Jawa di Indonesia bahkan semenjak zaman Raden Wijaya (1294-1309) pada masa kerajaan Majapahit. Namun pada dasarnya berbagai bahan sandang memiliki corak batik juga dari luar pulau Jawa, misalnya di beberapa tempat di Sumatera, seperti Jambi bahkan beberapa tempat di Kalimantan dan Sulawesi. Motif batik digunakan mulai dari hiasan, kain sarung, kopiah, kemeja, bahkan kerudung dan banyak lagi. Namun hal yang sangat menarik dengan batik adalah bahwa ia merupakan konsep yang tidak sederhana bahkan dari sisi etimologinya. Batik dapat merepresentasikan ornamentasi yang unik dan rumit dalam corak dan warna dan bentuk-bentuk geometris yang ditampilkannya. Namun yang terpenting adalah bahwa batik dapat pula merepresentasikan proses dari pembuatan corak dan ornamentasi yang ditunjukkan di dalamnya.

Proses batik atau dalam verbia disebut pula sebagai “mbatik”, merupakan hal yang tidak sesederhana menggambarkan sebuah lukisan, misalnya. Multiperspektif yang terpancar dari ornamentasinya merupakan hasil dari proses dan tahapan-tahapan pseudo-algoritmik yang sangat menarik. Berdasarkan publikasi “Batik: The Impact of Time and Environment” oleh H. Santosa Doellah yang diterbitkan oleh Danar Hadi, terdapat setidaknya tiga tahapan proses dalam ornamentasi batik, yakni:

1. “Klowongan“, yang merupakan proses penggambaran dan pembentukan elemen dasar dari disain batik secara umum.

2. “Isen-isen“, yaitu proses pengisian bagian-bagian dari ornamen dari pola isen yang ditentukan. Terdapat beberapa pola yang biasa digunakan secara tradisional seperti motif cecek, sawut, cecek sawut, sisik melik, dan sebagainya.

3. Ornamentasi Harmoni, yaitu penempatan berbagai latar belakang dari desain secara keseluruhan sehingga menunjukkan harmonisasi secara umum. Pola yang digunakan biasanya adalah pola ukel, galar, gringsing, atau beberapa pengaturan yang menunjukkan modifikasi tertentu dari pola isen, misalnya sekar sedhah, rembyang, sekar pacar, dan sebagainya.

Fraktal: Geometri Batik
Hal yang menakjubkan dari batik adalah bahwa batik adalah sebuah proses yang lahir dari sistem kognitif dan penggambaran akan alam dan lingkungan sekitar. Batik tercipta melalui pemetaan antara obyek di luar manusia pembatik dan artikulasi kognisi dan aspek psikomotorik yang tertuang dalam kriya batik.

Meski batik tak mungkin bisa dilihat dengan melepaskan konteks dan proses pembuatan dari batik tersebut, motif dan ornamentasi yang terkandung dalam batik pun ternyata memiliki tingkat kompleksitas yang sangat menarik.

Cara pandang akan bentuk-bentuk geometris kita saat ini cenderung terkait erat dengan geometri yang diwarisi dari cara pandang pakem Aristotelian barat, yang memandang dimensi geometris sebagai bilangan asli. Dimensi 1 sebagai garis, dimensi 2 sebagai bangun datar, dimensi tiga sebagai bangun ruang, dan seterusnya. Namun dunia ternyata tak sesederhana itu. Perjalanan panjang sejarah ilmu pengetahuan telah membawa kita pada kenyataan ilmu pengetahuan sebagaimana kita saksikan sekarang ini. Dalam perjalanan filsafat ilmu pengetahuan, sains menjadi selalu bersifat positif terhadap kenyataan; bahwa sains tak terbatas, reduksionisme merupakan hal yang pada akhirnya akan membawa kita pada penjelasan yang utama dan fundamental, dan seterusnya.

Kejadian aneh kita anggap sebagai bentuk kerandoman. Ilmu pengetahuan telah sangat percaya diri, hingga akhirnya meta-matematika mulai mempertanyakan aritmatika (oleh matematikawan Kurt Godel, 1931), filsafat mulai berbicara tentang paradoks dan keabsahan deduksi (oleh filsuf Bertrand Russel, 1903), sosiologi mulai berbicara tentang posmodernisme (sosiolog Jean Jaques Lyotard, 1979), gelombang karya seni multi-perspektif seperti dadaisme pada senirupa dan psikodelik pada seni musik, dan banyak lagi di hampir semua lini ilmu pengetahuan dan seni modern, termasuk pertanyaan tentang panjang garis pantai dan bahwa geometri mulai berkenalan dengan konsep fraktal (Benoit Mandelbrot, 1982). Filsafat ilmu pengetahuan akhirnya menyadari bahwa ada permasalahan dalam cara bagaimana kita memandang dunia. Reduksionisme filsafat sains dipertanyakan ketika akhirnya secara umum disadari bahwa "keseluruhan jauh lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya".

Dunia itu ternyata tak linier, dan sains yang ada sekarang perlu memperhatikan hal ini. Bahkan secara filosofis, ilmu pengetahuan yang ada saat ini tak boleh berdiri sendiri dengan tradisi dan konvensionalisme yang menyertainya. Pendekatan interdisiplin menjadi penting. Kenyataan akan betapa tingginya kompleksitas alam semesta dan lingkungan sosial kita akhirnya melahirkan bio-fisika, kimia komputasi, ekonofisika, sosiologi komputasi, sains kognitif, ekonomi evolusioner, dan sederet nama yang menggambarkan bagaimana ilmu pengetahuan mesti mondar-mandir melintas batas pakemnya. Dalam perjalanan sejarah ilmu pengetahuan modern, semua berlandas secara elementer pada cara kita memandang dunia, di mana geometri klasik tak pelak adalah sebuah fundamen-nya. Sejarah ilmu pengetahuan akhirnya menyadari bahwa fraktal lebih baik dan lebih tepat dalam memandang dunia. Kajian yang berdasar sifat fraktal yang menyadari "ke-tidak-purna-an" model semesta yang salah satunya ditunjukkan dengan pengetahuan akan dimensi yang bukan bilangan bulat, tapi justru adalah pecahan.

Kenyataan bahwa batik bersifat fraktal seolah menjadi hal yang menunjukkan bahwa ada kebijaksanaan terpendam dalam penggambaran dunia yang tak seperti geometri Aristotelian yang kita kenal. Hal ini implisit dalam karya-karya batik. Jika seni budaya dan sains modern telah berinteraksi sedemikian sebagaimana kita kenal saat ini, maka jelas budaya kriya batik telah berinteraksi dengan kebudayaan orang-orang yang tinggal di kepulauan Indonesia. Jika fraktal telah menginspirasi perubahan dan menjadi sumber kreativitas dan progresifitas sains di berbagai bidang dalam bentuk interdisiplinaritas, bukankah menjadi tak mungkin jika batik juga dapat memberi inspirasi dan sumber kreativitas cara pandang yang lebih baik akan dunia?

Bukan tak mungkin, bahasa orang Indonesia-nya interdisplinaritas adalah gotong-royong, sebagaimana geometrinya orang Indonesia adalah batik. Penemuan akan aspek fraktalitas pada batik (sebagaimana juga ditemukan pada banyak aspek seni dan budaya kuno dan klasik lain di banyak temapat ketika pengaruh Yunani dan Romawi kuno belum kuat, seperti Cina, India, Arab) memberi kita peringatan bahwa kita perlu mengubah cara pandang kita atas nilai tradisi dan warisan budaya kita. Menikmati batik tak pernah sama dengan cara menikmati lukisan perspektif. Menyelesaikan permasalahan secara mono-disiplin tak pernah sama dengan menggunakan pendekatan interdisiplin.

Kenyataan fraktalitas pada batik, sebagai aspek budaya visual yang erat dengan budaya dan peradaban Indonesia menjadi sebuah hal yang sangat penting.

mbatik: dari ngisen dan iterasi komputasional ke seni generatif
Perkembangan sains dan teknologi modern telah membawa kita pada generasi dimana kita bisa melakukan simulasi yang meniru proses (baik proses alamiah, fisis, biologis, bahkan pergerakan harga dan interaksi sosial) secara komputasional. Dari berbagai pendekatan sains disadari bahwa banyak sekali fenomena alam dan sosial yang terlihat rumit, acak, chaos pada dasarnya berasal dari sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana.

Secara aritmatik, pola matematis dan dinamika yang chaos dan terlihat tak-deterministik dapat ditunjukkan dapat lahir dari apa yang sebenarnya sederhana dan justru deterministik. Ini dapat dilakukan karena teknologi komputer mengizinkan kita merekam dinamika secara iteratif.

Bagaimana dengan bentuk-bentuk dan pola yang rumit di alam, seperti awan, asap, pola garis pantai, dan sebagainya yang terlihat acak dan rumit secara visual itu? Teknologi komputasi, sebagaimana dapat diterapkan untuk melihat pola aritmatika sederhana yang menghasilkan chaos dapat pula diterapkan untuk melihat pola geometri sederhana yang menghasilkan fraktal. Usaha melihat fenomena fraktal pada batik telah memperluas pula khazanah dan peluang apresiasi yang lebih lagi pada batik.

Dekade abad ke-21 merayakan perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat. Karya-karya seni, baik rupa maupun suara mulai mengakuisisi teknologi ini untuk memperluas bidang cakupan dan ketakterbatasan daya imajinasi dan kreativitas manusia. Salah satu aspeknya adalah pemahaman akan seni generatif. Seni generatif visual modern diawali dengan membuat aturan-aturan visualisasi yang secara berulang (iteratif) memvisualkan bentuk sederhana sehingga pada akhirnya diperoleh pola-pola yang rumit dan kompleks. Pola seni ini bertumpu pada proses yang atas perulangan pola dan bentuk yang mirip pada media - sebuah kreasi karya seni yang sering menyebut-nyebut seniman Belanda, G. Escher (1898-1972) sebagai perintisnya dalam sejarah seni rupa modern. Jelas pola berulang (baca: iteratif) akan menghasilkan bentuk fraktal sebagaimana pola berulang aritmatik sederhana dapat menghasilkan pola chaos.

Pigmentasi kerang, pola sulir cangkang kerang, bentuk-bentuk rumit dari bunga salju, pertumbuhan kanker, bahkan beberapa pola pergerakan harga saham dan indeks dalam ekonomi menunjukkan pola-pola fraktal. Dengan melakukan "peniruan" secara komputasional dengan berbagai sistem komputasional, kita mengetahui bagaimana pola-pola kompleks dapat terjadi di alam semesta dan lingkunngan sosial kita. Analisis semacam ini dikenal pula sebagai bentuk analisis berdasarkan ilmu generatif, dan berbagai obyek estetik yang melahirkannya dinamai seni generatif komputasional. Dalam studi-studi komputasi dan ilmu geometri fraktal, hal-hal seperti otomata selular, himpunan Mandelbrot dan Julia, sistem-L, kurva Peano, dan sebagainya sering dijadikan bentuk referensi.

Ketika batik telah dapat ditunjukkan pola fraktalnya, maka ia menjadi memiliki peluang untuk dilihat sebagai bentuk generatif. Beruntung, karena kita memang telah pula mengetahui pseudo-algoritma bagaimana menghasilkan batik sebagaimana kita telah singgung sebelumnya: klowongan >> isen >> harmonisasi. Bahkan bukan tak mungkin, beberapa jenis pola fraktal yang telah dikenal sebagai "keindahan matematika" dapat pula meng-inspirasi pola batik. Dari sini, penelitian menunjukkan bahwa terdapat setidaknya 3 tipe pola fraktal yang secara komputasional dapat menjadi bentuk motif batik fraktal generatif secara komputasional, yakni:

Tipe 1: Fraktal sebagai Batik
beberapa jenis fraktal yang dikustomisasi sedemikian sehingga memiliki pola tertentu dapat didesain sebagai inspirasi atas konstruksi desain batik. Kustomisasi dapat dilakukan atas aturan-aturan iteratifnya, modifikasi pada bentuk pencorakan warna, dan sebagainya. Dalam demonstrasi berikut ini, kita mensimulasikan zooming dan kustomisasi teknis pewarnaan dari himpunan Mandelbrot yang dapat digunakan sebagai bahan dasar fraktal batik mode 1.

Tipe 2: Hibrida Fraktal Batik
pola-pola dari fraktal dapat digunakan sebagai pola model utama dari ornamentasi dan dasar dekorasi bersama-sama dengan isen original dari motif dasar batik dan sebaliknya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan secara komputasional apa yang merupakan motif batik tradisional dengan hasil adaptasi sedemikian dari fraktal non-batik. Modus disain ini menggabungkan secara estetik pola fraktal yangr dilahirkan secara komputasional dan apa yang dilahirkan melalui tradisi budaya batik yang luas dikenal. Dalam demonstrasi ini, ditunjukkan sebuah modifikasi dari sistem-L yang dirancang sehingga menghasilkan bentuk pengisian ruang (space-filling curves) yang dapat dijadikan sebagai bentuk bahan bagi batik untuk dikustomisasi.

Tipe 3: Batik Inovasi Fraktal
merupakan bentuk implementasi dari gambar dengan pola tertentu dan atau acak dengan menggunakan bentuk-bentuk teselasi iteratif atau algoritma pengisian dari ornamentasi batik yang asali sebagai isen atau pola batik yang telah dikenal secara tradisional. Hal ini dapat dilakukan dengan ekstraksi motif dasar dari ornamentasi batik yang kemudian di-iterasi ulang dengan menggunakan pseudo-algoritma batik yang telah dikenal. Sebagai contoh demonstratif sebagaimana yang ditunjukkan pada contoh ini. Di sini, dua motif batik di-proses ulang secara komputasional dengan memberikan desain besar atas pola umum yang secara komputasional akan diproses (isen dan harmonisasi) yang menghasilkan sifat-sifat fraktal sehingga menghasilkan motif yang sama sekali baru dengan memperhatikan pola dan prinsip proses mbatik. Pengguna dapat melakukan kustomisasi dengan pewarnaan tertentu.

Ketiga pola ini merupakan bentuk dari implementasi generatif atas kesadaran bagaimana batik memiliki sifat fraktal dan mendukung peluasan bentuk apresiasi terhadap budaya tekstil Indonesia non-tenun ini.

Catatan
Budaya batik berasal dari pemahaman kognitif yang tertuang ke dalam karya estetika visual yang sedikit banyak memberi gambaran implisit tentang bagaimana orang Indonesia memandang dirinya, alamnya, dan lingkungan sosialnya. Pola batik yang diketahui bersifat fraktal merupakan sebuah kenyataan bahwa terdapat perspektif alternatif yang ada di kalangan masyarakat dan peradaban Indonesia yang unik relatif terhadap cara pandang modern yang umum. Keunikan ini merupakan sesuatu yang penting mengingat fraktal merupakan bentuk pemahaman geometri yang mutakhir dan memiliki kesadaran akan kompleksitas sistem dan menanganinya dengan lebih bijaksana.

Batik sebagai sebuah obyek estetika berpola memiliki tata aturan penggambaran pseudo-algoritmik yang dapat diperlakukan sebagai bentuk seni generatif yang memiliki kegunaan:
- memberikan sumbangan dan inspirasi kepada peradaban umat manusia, khususnya dalam bidang perkembangans seni generatif.
- mendorong dan memperluas ekslorasi dan apresiasi atas batik sebagai bagian dari seni tradisi nusantara Indonesia.
- penelitian tentang aspek fraktalitas pada batik secara umum mendorong penggalian lebih jauh tentang aspek kognitif terkait cara pandang dan kebijaksanaan masyarakat terdahulu kita tentang alam dan masyarakat - mengingat eratnya kaitan antara seni dan sains sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah perkembangan dan sejarah sains modern.

Mari mencintai Indonesia!
Mari menginspirasi dunia!

Batik story

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Batik Indonesia

Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "titik". Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan "malam" (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya "wax-resist dyeing".

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.

Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB.

Cara pembuatan

Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.

kebaya story


Menurut Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: silang Budaya (1996) Kebaya berasal dari bahasa Arab ‘Kaba’ yang berarti ‘pakaian’ dan diperkenalkan lewat bahasa Portugis ketika mereka mendarat di Asia Tenggara. Kata Kebaya diartikan sebagai jenis pakaian (atasan/blouse) pertama yang dipakai wanita Indonesia pada kurun waktu abad ke-15 atau ke-16 Masehi. Argumen Lombard tentu berterima terutama lewat analogi penelusuran lingustik yang toh sampai sekarang kita masih mengenal ‘Abaya’ yang berarti tunik panjang khas Arab. Sementara sebagian yang lain percaya Kebaya ada kaitannya dengan pakaian tunik perempuan pada masa kekasiran Ming di Cina, dan pengaruh ini ditularkan setelah imigrasi besar-besaran menyambangi semenanjung Asia Selatan dan Tenggara di abad ke-13 hingga ke-16 Masehi.

Terlepas dari asal usulnya yang Arab, atau Portugis, atau Cina, kita mahfum bahwa penyebarannya memang dari arah utara kepulauan Indonesia. Artinya, negara-negara yang terlewati oleh ekspansi ala Arab, Portugis, dan Cina bisa jadi memiliki versi kebayanya masing-masing. Dan akhirnya, Jawa menjadi destinasi penyebaran paling selatan, karena tidak ditemukan jejaknya lagi di kepulauan Pasifik barat atau semenanjung utara Australia. Artinya lagi, kali ini, Malaysia bisa dengan bebas mengklaim Kebaya sebagai salah satu pusaka tradisinya. Tentu tanpa mengatakan kalau jenis pakaian ini asalnya dari Malaysia—karena itu terdengar sangat bodoh.

Dalam novel kuartet Gajah Mada, Langit Kresna Hariadi menulis: “Sri Gitarja menjawab sambil mengusap air mata menggunakan lengan baju”. (Gajah Mada Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara hal 336, paragraf ke-3, baris ke-5). Asumsinya, jika tuan putri Sri Gitarja dapat mengusap air matanya dengan lengan baju berarti lengan baju yang beliau pakai adalah lengan panjang hingga-minimal-mendekati pergelangan tangan. Kemungkinan terbesar adalah jenis pakaian wanita kebaya. Sayangnya, hal ini bisa saja keliru karena Kebaya masih menjadi benda asing di masa ini. Masyarakat Jawa kala itu lebih mengenal kain panjang, tenun, ikat dan kemben sebagai busana sehari-hari. Ada juga yang berpendapat bahwa, masa-masa ini Kebaya terbatas dikenakan di kalangan kerajaan saja. Sayangnya, bukti-buktinya sangat lemah. Kain yang berbahan serat alam di negeri tropis seperti Indonesia mudah sekali hancur hanya karena kelembaban, cuaca, hingga mikroorganisme pemakannya. Bukti yang juga tidak bisa dikatakan kuat adalah arca-arca dan relief yang dipahat di sebagian besar bangunan kuno abad ke-13 hingga 15. Namun, tidak ada pola atau gambaran nyata yang mengindikasikan adanya Kebaya di masa itu.

Kita perlu menilik penyebaran dan masuknya Islam di Indonesia (abad ke-15) untuk mengetahui perkembangan kebaya modern saat ini. Keislaman sangat kuat memengaruhi siluet kebaya di awal-awal perkembangannya. Dugaan kuat mengatakan Kebaya awalnya merupakan atasan panjang berbentuk tunik sederhana yang menjulur dari leher hingga lutut (baju kurung). Hal ini mengingatkan kita akan abaya dan kebaya Melayu. Pakaian semacam ini serta-merta menggeser kemben tradisional. Di beberapa pelosok Indonesia bahkan bisa ditemukan wanita yang tampil tanpa atasan apapun (Bali, Lampung, Jawa). Kebiasaan berbusana macam itu juga ikut tergeser, meski dalam beberapa acara adat harus berbusana seperti itu lagi, terutama di Bali. Dokumentasi lama milik keluarga kerajaan dan keraton (Surakarta, Yogyakarta, Cirebon) di tanah Jawa masih merekam kebaya panjang ini dengan beberapa ornamen kenegaraan yang terpasang di beberapa sisinya (abad ke-19). Gelang dan jam dikenakan diluar lengan kebaya, sementara bros serangkai (tiga berjajar) tersemat di bagian depan membentuk suatu penutup. Jenis ini akhirnya merambah permainan bahan. Katun kasar dan tenun tradisional tentu saja menjadi cikal bakalnya. Namun beludru, sutra, dan katun halus kemudian menggantikan bahan-bahan keras tadi sesuai dengan masuknya koloni Eropa ke Indonesia dan membuka jalur perdagangan tekstil antar negara (sejak abad ke-18).

Kesesuaian selanjutnya bertitik tolak dari pola dan corak. Modifikasi, inovasi, dan kreatifitas membawa angin segar fesyen Kebaya masa ini. Ia bagaikan lepas tanpa ikatan. Putu baru, kebaya tunik pendek hingga tlisman mengemas banyak warna dan permainan motif yang cantik di awal abad ke-19. Kurun abad ke-19 dan masa pergerakan di awal abad 20 adalah kala gemilang bagi Kebaya. Kebaya berada di masa yang marak dikenakan masyarakat Indonesia, juga kaum pendatang Eropa dan Cina dengan ragam penyesuaiannya. Sebelum dikelas-kelaskan, Kebaya yang hampir merata dipakai oleh kaum perempuan Indonesia begitu lazimnya hingga kreasi-kreasi khusus dilakukan oleh kaum bangsawan dan dalam istana. Kebaya bangsawan dan keluarga Kraton terbuat dari sutra, beludru, dan kain tebal berornamen (brocade); golongan awam mengenakan bahan katun dan tenun kasar; kaum keturunan Eropa biasanya mengenakan kebaya berbahan katun halus dengan aksen lace (brokat) di pinggirnya; sedangkan untuk perempuan Belanda mengenakan kebaya katun dengan potongan yang lebih pendek. Saat itu bahkan banyak orang Eropa dan Belanda sendiri membeli aneka kebaya di Nederland. Masa ini Kebaya mulai disusupi unsur sinkretisme kelas. Ada Kebaya Keraton dan Bangsawan yang berornamen benang emas (sulam gim) dengan bahan beludru. Potongan khusus yang dipakai oleh perempuan kelas atas juga memberi bekas yang nyata seperti halnya kebaya Kartini. Pakem-pakem mulai terbentuk. Pola-pola tertentu dibatasi dalam garis darah biru. Kebaya mulai dikaplingkan dalam kelas-kelas kasta yang paradoksal.

Nasionalisme merebak tahun 1920-an. Organisasi-organisasi tradisional Indonesia maupun bentukan pemerintahan Hindia Belanda menyerukan nasionalisme dengan lantang. Kondisi politik saat itu juga memengaruhi preferensi fesyen masyarakatnya. Kebaya yang terlanjur Nasional dianggap bercitra pribumi dengan segala perjuangannya. Wanita keturunan Eropa dan Belanda meninggalkan kebaya sebagai pakaian sehari-hari mereka karena citra tradisional yang indigenous tadi. Periode ini meminimasi perkembangan fesyen Kebaya. Hampir tidak ada inovasi material yang signifikan, apalagi bentukan dan pola siluetnya. Kondisi seperti ini berlangsung hingga dua dekade berikutnya sampai yang terburuk tiba.

Periode 1942-1945 adalah yang terburuk dengan catatan paling minim tentang keadaan Indonesia, termasuk fesyennya. Perempuan di masa pendudukan Jepang jatuh di tempat paling rendah sepanjang sejarah. Tanpa kecuali; pribumi, keturunan Eropa, keturunan Cina, dan Belanda dijebloskan di penjara dan dipekerjakan dengan keras. Kebaya dipakai oleh tahanan perempuan Indonesia, sedangkan kemeja dan terusan dikenakan oleh keturunan Eropa dan Belanda. Peraturan tidak tertulis ini, entah bagaimana, berlaku hampir di setiap kamp-kamp tahanan Jepang. Di sini, Kebaya bersifat pribumi, lainnya koloni. Jangan berfikir tentang inovasi, produksinyapun jatuh mengenaskan. Kenyataannya, pendudukan Jepang di Indonesia juga memutus jalur perdagangan tekstil dan perlengkapan penunjangnya. Banyak rumah produksi kebaya tutup. Perusahaan kain Batik yang marak di periode itu juga wajib membuat solusi padat karya untuk sekedar bertahan. Solusi yang paling banyak dianut adalah merger antar beberapa perusahaan kecil yang membuat kain batik, kebaya, dan industri konveksi rumahan. Tapi tidak berdampak banyak bagi perkembangan fesyen masa itu. Perubahan suhu politik terjadi tiap jam. Perang Dunia ke-II adalah masa-masa kelam bagi fesyen tanah air, bahkan dunia. Kecuali Chanel dan Hugo Boss yang memang kekasih fasis kala itu, banyak rumah mode di dunia mengalami kemunduran.

Lagi-lagi faktor politik berkecamuk. Revolusi besar kemerdekaan Indonesia tahun 1945 membawa Kebaya pada konstelasi nasionalis yang lebih absolut. Dari sekedar tradisional yang pribumi, Kebaya menjalar menjadi nasionalis dan bernafas kemerdekaan. Para wanita terdidik yang dekat dengan pemerintahan Soekarno saat itu banyak mengenakan aneka kebaya, terutama jenis putu baru dan Kebaya encim yang masih ada jejaknya sekarang ini. Sebagian orang menanggapi kondisi ini sebagai masa-masa keemasan Kebaya sampai tahun 1960-an. Hampir semua wanita, baik itu di kantor, di rumah, di manapun tampil berkebaya. Citra nasional yang dibawa Kebaya begitu kuatnya, tetapi melekat pada kaum aristrokrat tertentu yang berpihak pada Soekarno. India, Cina, dan sebagian Asia Tenggara mendominasi pasar tekstil Indonesia. Sentimen Barat pada Soekarno, dan sentimen Soekarno sendiri pada Barat membatasi jalur pertukaran komoditi Eropa dan Indonesia. Yang terlihat adalah aneka corak dan warna-warna Kebaya yang beragam. Potongan dan pola-pola lama kembali meruak meski masih memegang pakem-pakem yang tercipta dari abad sebelumnya.

Belum pulih benar Kebaya dari trauma politiknya, ia harus mengalami sekali lagi pukulan itu. Peralihan kekuasaan dari tangan Soekarno ke pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto tahun 1965 menempatkan Kebaya di posisi lemah. Citra-citra dan simbol-simbol yang diemban Kebaya di masa Soekarno membuat ia dijauhi. Kaum perempuan yang merasa tidak terlibat dengan gejolak politik Orde Lama (Soekarno) memilih untuk tidak mengenakan Kebaya. Terusan modern dan kemeja-kemeja wanita lebih digemari ketimbang Kebaya. Perlahan namun pasti, Kebaya tersingkir dalam kotak eksklusif Dharmawanita (organisasi wanita istri pegawai negeri yang terbentuk sejak tahun 1974). Dengan warna jingga salem-nya, Kebaya menjadi seragam resmi organisasi ini.

Hingga tahun 1980-an Kebaya semakin terkucil di kalangan istri Militer dan pegawai negeri, meski beberapa desainer lokal macam Iwan Tirta mencoba melestarikannya. Kabar baiknya adalah peran informasi dan pertukaran komoditi antar negara kembali terbuka lebar. Tinggal bagaimana tangan-tangan kreatif anak Bangsa memanfaatkannya. Tidak memakan waktu lama, awal tahun 90-an Ghea Panggabean melakukan eksperimen berarti pada Kebaya. Dalam lingkup kelas atas, Ia memanfaatkan bahan sutra organdi dan serat-serat alam lain yang tergolong mewah menjadi Kebaya. Di kalangan elit dan perempuan berpendidikan, Kebaya macam ini, yang kemudian banyak juga dikembangkan oleh desainer lokal lain, memiliki predikat khusus. Ia sah digunakan di acara-acara formal baik bersifat pribadi, keluarga, maupun kenegaraan.

Tahun 90-an pula Kebaya mulai mendapat tempat yang lebih luas. Bahkan dipandang mempunyai janji ekonomi yang besar. Desainer-desainer Indonesia sepakat, Kebaya adalah genre khas dari dunia fesyen yang menjanjikan. Mereka mulai meliriknya, memelajarinya, dan kemudian berkreasi dengannya. Kuncinya adalah inovasi! Sepertinya tuntutan kreasi dan aksentuasi dari para pemakai juga menjadi faktor besar yang mendorong Kebaya kembali ke era abad-19—masa dimana Kebaya punya kebebasan untuk berkembang.

Setelah 32 Tahun memerintah Indonesia, Soeharto undur. Reformasi membawa angin segar sekaligus liar. Untuk beberapa alasan, hal ini baik. Banyak pranata yang dijungkirbalikan. Reformasi dipahami sebagai era kebebasan. Keterbukaan pikiran menjadi titik tolak semua kegiatan di masa-masa 1997-2002. Kreatifitas tak terbendung yang dicontohkan oleh para pemimpin setelah Soeharto dan dunia politik juga diikuti masyarakatnya. Kekangan adalah barang haram di masa ini. Digalilah kreasi-krasi baru yang segar dari banyak sumber untuk mempercantik Kebaya. Kita harus mencermati trend brokat (lace), bordir, teknik aplikasi, drapery, dan pencampuran bahan sebagai cikal bakal revolusi Kebaya di tahun 2000-an.

Yang tandang dengan banyak ide, dia yang menang. Dunia pernikahan, pertemuan formal kenegaraan, hingga acara-acara eksklusif yang mengusung citra Indonesia secara konsensus-tersembunyi mewajibkan Kebaya sebagai kode busananya. Hal ini kemudian memancing kompetisi antar desainer. Secara pola, siluet, cutting, dan garis luar berubah beragam-ragam. Bagai bola liar, perubahan besar itu juga diikuti dengan pemanfaatan bahan baku. Keluar dari sekedar organza dan katun, Kebaya merambah ke jalur sutra, sifon, shantung, lace, hingga serat-serat yang tak terbayangkan sebelumnya seperti jute, nanas, pisang, dan unsur metal. Teknik bordir, renda, pilin, lipit, layer hingga quilt ikut mewarnai kemegahan Kebaya. Hingga akhirnya pemanfaatan material mewah macam payet, kristal, batu-batu mulia dan bulu binatang (ostrich’s feathers/cincila fur) hadir bersama taknik aplikasi yang revolusioner. Dengan teknik yang satu ini, kreasi tanpa batas sangat mungkin dikerjakan. Teknik aplikasi membuka kesempatan Kebaya sebagai benda seni yang bisa dihiasi apa saja—bahkan berlian jika memungkinkan. Lewat banyak teknik dan potongan, material dan bahan, sampai aksesorisnya, Kebaya tercipta sebagai karya seni. Bahkan ada satu Kebaya yang memiliki berat hingga 22 Kg, karena kerumitan detail yang melekat padanya. Kebaya memasuki masa revolusinya sendiri. Ia kini, seperti banyak masyarakat Indonesia era 2000-an, punya daya pandang dan tempatnya masing-masing. Tanpa harus terpengaruh imbas politik, ekonomi, bahkan adat istiadat. Kebaya semata-mata menganut faham kreatifitas yang feminis.

Lahirnya Kebaya-kebaya karya Anne Avantie, Marga Alam, Adjie Notonegoro, Biyan Wanaatmadja, Sebastian gunawan hingga perancang-perancang muda seperti Priyo Oktaviano, Rusly Tjohnardi, Ferry Sunarto dan banyak lagi adalah bukti revolusi Kebaya itu. Kebaya karya desainer-desainer tadi menghujam kuat di kancah lokal dan menghentak khasanah internasional. Pagelaran-pagelaran fesyen Kebaya, persaingan, kritik dan pujian-pujian memberi dampak yang sangat membangun. Aksi tutup mata atas pakem tradisional yang dihembus-hembuskan beberapa orang membuat karya Kebaya meroket ke arah yang sama sekali tak terduga. Ia kini lebih dari sekedar identitas, Kebaya juga sebuah komoditi dan jati diri bangsa Indonesia. Kebaya Indonesia muncul lewat siluet ultra feminin. Ia memeluk tubuh wanita, membuatnya bersinar, dan melekuk sempurna. Tidak dan belum bisa ditemukan di tempat lain, bahkan tempat-tempat yang dipercayai sebagai cikal bakal Kebaya tersebut menulari Indonesia. Mungkin, Kebaya akan segera memasuki kosa-kata Inggris seperti Batik dan Ikat. Kalau sudah begitu, tidak ada yang bisa menggoyahkan posisi Kebaya di Indonesia. Kebaya mencapai kemuliaan seni yang tertinggi di negeri Ini.

Dari sini, kita mesti sadar, ada ancaman yang harus kita hadapi dengan serius. Jika Kebaya telah memasuki titik puncak kejayaannya, apakah nasibnya akan seperti Batik yang masuk puncak jaya di tahun 1940-an, di Jawa? Batik Jawa Hokokai yang dikenal sebagai Batik paling mulia di dunia (Iwan Tirta) menjadi titik kulminasi kain ini. Sekarang, Batik masuk masa-masa mati suri. Kreasi yang dipersembahkan desainernya tidak pernah melampaui keindahan kreasi pendahulunya. Tiga negeri, Lasem, Jawa Hokokai, dan Pesisiran menempati peringkat seni yang tak terbantahkan—sekaligus tak terulangi lagi. Pertanyaannya, apakah Kebaya nantinya juga bernasib sama?


Terimakasih kepada: Iwan Tirta, Anne Avantie, Joop Ave, Victoria Cattoni, Roesly Tjohnardi, Marga Alam, Ferry Sunarto, Ida Munthe, Koesbiyanthi Indrastoeti, Yuko Tanaka, Rens Heringa, Pia Alisjahbana, Ir. TT. Soerjanto, Dr. Mariah Waworuntu, Lusiana Limono, Dra. Ratna Panggabean, Komunitas Wastraprema, Yayasan Batik Indonesia…

Photo: Hypnosis, Model: Nayla Alatas, Kebaya: Marga Alam, Anne Avantie, Ferry Sunarto, Ida Munthe (Wangie), Kain: Marga Alam, Anne Avantie, Ida Munthe (Wangie), Gandrasta Bangko, Aksesoris: Rinaldy A. Yunardi, Anne Avantie, Marga Alam, Ferry Sunarto, Lokasi: Lara Djonggrang

Kebaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia

Kebaya modern

Kebaya adalah blus tradisional yang dikenakan oleh wanita Indonesia dan Malaysia yang terbuat dari bahan tipis yang dikenakan dengan sarung, batik, atau pakaian rajutan tradisional lainnya seperti songket dengan motif warna-warni.

Dipercaya kebaya berasal dari Tiongkok[rujukan?] ratusan tahun yang lalu. Lalu menyebar ke Malaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Setelah akulturasi yang berlangsung ratusan tahun, pakaian itu diterima di budaya dan norma setempat.

Sebelum 1600, di Pulau Jawa, kebaya adalah pakaian yang hanya dikenakan keluarga kerajaan di sana. Selama masa kendali Belanda di pulau itu, wanita-wanita Eropa mulai mengenakan kebaya sebagai pakaian resmi. Selama masa ini, kebaya diubah dari hanya menggunakan barang tenunan mori menggunakan sutera dengan sulaman warna-warni.

Pakaian yang mirip yang disebut "nyonya kebaya" diciptakan pertama kali oleh orang-orang Peranakan dari Melaka. Mereka mengenakannya dengan sarung dan kaus cantik bermanik-manik yang disebut "kasut manek". Kini, nyonya kebaya sedang mengalami pembaharuan, dan juga terkenal di antara wanita non-Asia.

Terpisah dari kebaya tradisional, perancang mode sedang mencari cara memodifikasi desain dan membuat kebaya menjadi pakaian yang lebih modern. Kebaya yang dimodifikasi itu malah bisa dikenakan dengan jins atau rok.